Selasa, 30 Juni 2009

Sepenggal Kisah Cinta Arendt-heidegger; Resensi Buku "Selingkuh Dua Pemikir Raksasa: Hannah Arendt-Martin Heidegger"*

Apakah yang terjadi ketika dua pemikir besar bertemu dan menjalin cinta? Drama apakah yang berlangsung bila keduanya, dari dua etnis yang berbeda dan bermusuhan, memadu kasih?

Tentu saja, ini bukan sekadar pengulangan kisah Romeo-Juliet dalam drama Shakespeare. Lebih dari itu, inilah perpaduan dua jiwa dalam menyelami kehidupan otentik masing-masing.

Heidegger dan Hannah Arendt adalah dua filsuf besar abad ke-20 yang memulai kisah cinta mereka dengan mula-mula saling mengagumi.

Dua filsuf yang pemikirannya banyak menyita perhatian publik filsafat ini terjebak dalam kisah yang kontroversial: perselingkuhan.

Perselingkuhan lahir dari kekaguman akan pesona masing-masing: Heidegger yang menarik dan berwibawa, Arendt yang cantik dan jenius.

Heidegger melihat Arendt sebagai mahasiswi yang sangat berbakat dalam berfilsafat. Sebaliknya, Arendt menemukan otoritas intelektual yang mengagumkan dalam sosok Heidegger.

Kisah Heidegger-Arendt ini merupakan satu dari sekian yang menarik banyak kalangan melebihi filsafatnya.

Kehidupan Heidegger dimulai dalam tradisi imamat Katolik, tapi kemudian ia memutuskan hubungan dengan gereja. Ia lebih suka mempelajari fenomenologi yang ketika itu menjadi mode di universitas-universitas Jerman. Heidegger sangat menguasai pendekatan ini sehingga ia dijuluki sang pelihat, bukan dalam arti melihat masa depan seperti peramal, melainkan seorang yang melihat fenomena yang biasa-biasa dengan cara yang luar biasa, yaitu dari sudut pandang ontologis. Pandangan itu turut mewarnai karya puncaknya, Sein und Zeit--yang terilhami oleh Arendt.

Pondoknya, yang jauh dari keramaian di Todtnauberg, menjadi pilihan Heidegger dalam menuangkan pikiran-pikirannya.

Penampilan dan pemikiran Heidegger yang cemerlang itulah yang menyihir Arendt. Ia begitu terpesona pada sang filsuf. Surat menyurat kemudian terjadi antara keduanya, sepanjang 1925-1975.

Surat-surat yang lebih menggambarkan situasi emosional keduanya ketimbang pemikiran filsafatnya. Hannah Arendt sendiri adalah filsuf wanita yang tak kalah kontroversialnya.

Dia salah satu pemikir penting Jerman keturunan Yahudi yang tulisan-tulisannya merefleksikan pengalaman hidup sebagai saksi kekejaman dua tirani besar abad ke-20: Nazisme dan Fasisme.

Tulisannya mencakup pembahasan yang cukup luas dengan topik yang beragam, dari isu keyahudian dan negara Israel, krisis modernitas, dan, tentu saja, totalitarianisme.

Namun, perspektif keyahudian tampaknya banyak mempengaruhi analisis-analisis politiknya. Dari semua itu, yang paling menarik untuk diperbincangkan adalah drama persahabatan dan kisah-kisah cintanya, terutama dengan Heidegger.

Buku ini secara umum menggambarkan hubungan cinta Heidegger dan Arendt. Menurut penulis, secara garis besar hubungan mereka dibagi menjadi tiga fase: 1925-1930 saat keduanya menjadi kekasih. Awal 1930-an (Heidegger bergabung dengan Nazi pada 1933) hingga 1950 ketika kehidupan mereka sama sekali berubah akibat kebangkitan Sosialis Nasionalis dan Perang Dunia II. Lalu pada 1950- 1975 manakala, dengan inisiatif Arendt, mereka memulai lagi pertalian lamanya dan membangun sesuatu yang baru, yang berakhir ketika Arendt meninggal.

Pertemuan keduanya dimulai dari Universitas Marburg. Heidegger ketika itu menjadi profesor muda dan mengisi kuliah-kuliah Arendt. Heideggerlah yang mengajari Arendt tentang dasar-dasar pemikiran dalam Sein und Zeit (Being and Time) dan mengenalkannya lebih mendalam mengenai aliran filsafat Eksistensialisme.

Tidak hanya tertarik pada kuliahkuliah Heidegger, Arendt pun terpesona oleh kepribadian dosen muda itu. Meskipun Heidegger sudah beristri dan beranak, Arendt tidak bisa menahan dirinya untuk tidak terlibat perselingkuhan dengan Heidegger. Ia bahkan mengabdikan seluruh hidupnya untuk sang filsuf, yang darinya Arendt berutang segalanya.

Arendt memberikan cintanya pada Heidegger dengan penuh kebebasan, melawan kelaziman. Perempuan itu menegakkan untuk dia sebuah kaca yang di sana tecermin sebuah ciptaan yang tampak laksana dewa. Bagi si penyihir dari Messkirch, Arendt menjadi jelmaan dari apa pun yang mungkin telah disaksikannya dalam sejumlah mimpi- mimpi yang membingungkannya.

Demi sang kekasih, Heidegger rela mempertaruhkan karier dan keluarganya. Namun, cinta ini, menurut penulis, mengalami transformasi yang fluktuatif. Kepatuhan Arendt dipahami lebih sebagai cantrik Heidegger.

Heidegger cenderung superior dan terkadang terkesan mempermainkan cinta Arendt, sementara Arendt menerima semua sikap dan titah sang kekasih kepadanya tanpa reserve. Ini terjadi karena dalam hubungan profesor-mahasiswa di sebagian lembaga pendidikan di Eropa, terutama di Jerman, posisi pengajar ditinggikan dan posisi subodinatif murid ditegakkan.

Kisah cinta Heidegger-Arendt dalam buku ini digambarkan dramatis, kalau bukan tragis. Tragis karena kisah tersebut jauh dari kebahagiaan dalam arti konvensional berupa bersatunya sepasang kekasih dalam mahligai rumah tangga yang sejahtera. Hari-hari yang mereka lalui penuh warna. Tak jelas kapan sedih kapan bahagia, semuanya berkelindan tak tentu arah, enigmatik dan samar. Namun, di sanalah letak pesona kisah cinta mereka, penuh ambigu dan gelap, dicemooh dan dipuja, seiring dengan karakter filsafat masing-masing.

Buku ini tak kalah kontroversialnya. Ia dipuji karena mampu memberikan terobosan baru dalam mengungkapkan untuk kali pertama sesuatu yang sangat pribadi, tapi penting dan menarik, dalam relasi Heidegger-Arendt. Pengungkapan ini menjadi materi penting bagi siapa saja yang ingin mengenal lebih utuh karakter kedua pemikir. Alfred Kazen, Richard Bernstein, Richard Wolin, dan Paul Roazen memuji seperti itu. Sebaliknya, karya ini dikritik habis-habisan oleh Seyla Benhabib, Lisa Dish, Alan Ryan, dan Dana Villa. Mereka mengkritik penggambaran sosok Arendt yang cenderung berlebihan, dungu, dan lebih sebagai korban, serta kelemahan dalam metode dan data-data empiris yang digunakan.

Di atas semua itu, buku ini merupakan terjemahan pertama berbahasa indonesia yang mengungkap kisah cinta Heidegger dan Arendt. Buku yang lebih menyerupai faktagosip ini merupakan titik berangkat kita dalam memahami keduanya layaknya manusia biasa yang juga butuh cinta dan kasih sayang.

Tentang cinta, Arendt berkata: "Tampaknya belum bisa kupercayai bahwa aku bisa memiliki sekaligus 'cinta agung' sembari mempertahankan identitasku sendiri. Dan hanya sekarang aku memiliki yang pertama ini, karena aku juga punya yang terakhir. Alhasil, aku tahu apa sebenarnya kebahagiaan itu".

Sayangnya, buku ini dinodai oleh terjemahan judul dan sampul buku yang mirip cerita-cerita chiklit populer—sesuatu yang sebenarnya masif dan secara tegas ditolak oleh Heidegger ataupun Arendt.

* (Dimuat di Koran Tempo tanggal 24 Juli 2005)